Kamis, 19 Juni 2014

KKN



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini di semua media,baik media massa maupun elektronik menyoroti sepak terjang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ).
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus / politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/ pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.














1.2 Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas, adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?
2.  Kondisi apa saja yang mendukung terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?
3. Bagaimana upaya membrantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari Rumusan Masalah diatas, adapun tujuan penulisan sebagai berikut:
1.  Untuk mengetahui pengertian dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2. Untuk mengetahui kondisi yang mendukung terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
3.  Untuk mengetahui upaya memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun penulisan makalah sebagai berikut:
Untuk masyarakat pada umumnya agar masyarakat tahu bagaimana prilaku para pemimpinnya dalam melaksanakan pembangunan, sedangkan untuk mahasiswa pada khususnya sebagai generasi penerus agar nantinya dapat membangun negara ini menjadi lebih baik dari pembangunan-pembangunan sebelumnya.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2.1.1 Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur unsur sbb, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya, memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan.
2.1.2 Kolusi
Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar
2.1.3 Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.
2.2 Kondisi yang mendukung terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi:
a.       Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
b.      Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
c.       Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
d.      Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
e.       Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
f.       Lemahnya ketertiban hukum.
g.      Lemahnya profesi hukum.
h.      Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
i.        Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
j.        Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
k.      Ketidak adaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
2.3 Upaya Memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) adalah perbuatan yang menyelewengkan atau menyalahgunakan uang Negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Memberantas korupsi bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan upaya sungguh-sungguh dan didukung oleh semua pihak untuk memberantasnya. Upaya-upaya pemberantasan korupsi terus berlangsung hingga sekarang ini. Upaya-upaya pemberantasan atau pencegahan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut :
1. Pengawasan oleh lembaga masyarakat
2. Lembaga pengawas seperti DPR, DPRD, BPK, BPKP, dan Bawasda
3. Lembaga pengawas Independen seperti KPK
4. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Selain itu diperlukan adanya Instrumen sebagai dasar hokum untuk memberantas dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Disinilah pentingnya peran serta lembaga Negara dalam membuat undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam memuat ketentuan pidana yaitu :
1. Menentukan pidana minimum khusus
2. Pidana denda yang lebih tinggi, dan
3. Ancaman pidana mati






BAB III
PENUTUP

Simpulan
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori.
Saran
Kepada pemerintah hendaknya jangan memberikan waktu atau peluang bagi orang-orang yang melakukan KKN. Dan bagi pemimpin-pemimpin hendaknya tidak melakukan KKN agar bangsa Indonesia bisa mencapai tujuan nasional yang menjadi harapan bangsa Indonesia kedepannya.
Kepada mahasiswa, sebagai mahasiswa hendaknya selalu mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi yang mana dapat meningkatkan pengawasan terhadap tindakan KKN yang dapat merugikan kita semua.





DAFTAR PUSTAKA
Purwati,Dewi.2012.Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia.http://politik.kompasiana.com/2012/02/13/%E2%80%9C-upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia-%E2%80%9D/.1Desember 2012
Handayani,Hasri.2010.Pengertian Korupsi,Kolusi,Dan Nepotisme.http://asrihandayani.wordpress.com/2010/03/31/pengertian-korupsikolusidan-nepotisme/. 1 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar