BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini di semua media,baik media massa maupun
elektronik menyoroti sepak terjang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ).
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan
wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat
disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas
tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat
beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani
kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh
untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia
bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah,
mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai
strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti
korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga
dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus / politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka.Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi
politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua
bentuk pemerintah/ pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan
membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian
yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin
agar segala urusannya menjadi lancar.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan
dalam konteks derogatori.
1.2
Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas, adapun rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang
dimaksud dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?
2. Kondisi apa saja yang mendukung terjadinya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?
3.
Bagaimana upaya membrantas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme?
1.3
Tujuan Penulisan
Dari Rumusan Masalah diatas, adapun tujuan penulisan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
pengertian dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2.
Untuk mengetahui kondisi yang mendukung terjadinya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme
3. Untuk mengetahui upaya memberantas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme
1.4
Manfaat Penulisan
Adapun penulisan makalah sebagai berikut:
Untuk masyarakat pada umumnya agar masyarakat tahu bagaimana
prilaku para pemimpinnya dalam melaksanakan pembangunan, sedangkan untuk
mahasiswa pada khususnya sebagai generasi penerus agar nantinya dapat membangun
negara ini menjadi lebih baik dari pembangunan-pembangunan sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2.1.1 Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara
garis besar mencakup unsur unsur sbb, perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya, memberi
atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan,
pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara), menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang
arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak
jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara
korupsi dan kriminalitas/kejahatan.
2.1.2 Kolusi
Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam
satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk
kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk
pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat
secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus
khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan
membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian
yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin
agar segala urusannya menjadi lancar
2.1.3 Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks derogatori.
Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau
menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi
namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme.
Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme
adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang
berarti “keponakan” atau “cucu”. Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katholik
dan uskup- yang telah mengambil janji “chastity” , sehingga biasanya tidak
mempunyai anak kandung – memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya
seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat
keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut
digunakan untuk melanjutkan “dinasti” kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III,
dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah
satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu
loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander
mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese
kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan
menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal.
Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang
mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla
kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik,
kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang
saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.
2.2 Kondisi yang mendukung terjadinya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi:
a.
Konsentrasi
kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
b.
Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
c.
Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
d.
Proyek
yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
e.
Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
f.
Lemahnya
ketertiban hukum.
g.
Lemahnya
profesi hukum.
h.
Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
i.
Gaji
pegawai pemerintah yang sangat kecil.
j.
Rakyat
yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.
k.
Ketidak
adaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau
"sumbangan kampanye".
2.3
Upaya Memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Tindak
Pidana Korupsi (TIPIKOR) adalah perbuatan yang menyelewengkan atau
menyalahgunakan uang Negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Memberantas
korupsi bukanlah perkara yang mudah. Diperlukan upaya sungguh-sungguh dan
didukung oleh semua pihak untuk memberantasnya. Upaya-upaya pemberantasan
korupsi terus berlangsung hingga sekarang ini. Upaya-upaya pemberantasan atau
pencegahan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut
:
1. Pengawasan
oleh lembaga masyarakat
2. Lembaga
pengawas seperti DPR, DPRD, BPK, BPKP, dan Bawasda
3. Lembaga pengawas
Independen seperti KPK
4. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan.
Selain itu diperlukan adanya Instrumen sebagai dasar
hokum untuk memberantas dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Disinilah
pentingnya peran serta lembaga Negara dalam membuat undang-undang tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi dalam memuat ketentuan pidana yaitu :
1. Menentukan pidana minimum khusus
2. Pidana denda yang lebih tinggi, dan
3. Ancaman pidana mati
BAB III
PENUTUP
Simpulan
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan
membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian
yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin
agar segala urusannya menjadi lancar
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya
digunakan dalam konteks derogatori.
Saran
Kepada pemerintah hendaknya jangan memberikan waktu atau
peluang bagi orang-orang yang melakukan KKN. Dan bagi pemimpin-pemimpin
hendaknya tidak melakukan KKN agar bangsa Indonesia bisa mencapai tujuan
nasional yang menjadi harapan bangsa Indonesia kedepannya.
Kepada mahasiswa, sebagai mahasiswa hendaknya selalu
mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi yang mana dapat
meningkatkan pengawasan terhadap tindakan KKN yang dapat merugikan kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Purwati,Dewi.2012.Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia.http://politik.kompasiana.com/2012/02/13/%E2%80%9C-upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia-%E2%80%9D/.1Desember 2012
Handayani,Hasri.2010.Pengertian Korupsi,Kolusi,Dan Nepotisme.http://asrihandayani.wordpress.com/2010/03/31/pengertian-korupsikolusidan-nepotisme/. 1 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar